FAM Indonesia hari ini mengulas sebuah puisi berjudul "Anak
Alang-Alang" karya anggota FAM dari Kendal. “Anak Alang-Alang”, sebuah
judul yang cukup padat membuat pembaca sepertinya ingin mengetahui apa, siapa,
ada apa gerangan yang disebut sebagai “Anak Alang-Alang”.
Kita akan membayang sejenak suasana seperti di padang
rumput, di mana angin bertiup begitu lepas seperti kepakan sayap-sayap burung
di langit biru. Rumput dan pepohonan seperti menjadi satu alunan melodi yang
indah di antara deru jernihnya air di kali yang jernih dan bening. Benarkah
begitu?
Wah, ternyata sedikit menyimpang dari imajinasi pembaca
ketika sekilas mengetahui judulnya. Sepertinya latar puisi yang indah ini
mengambil tempat di daerah pantai, di mana nelayan telah merapat dengan hasil
tangkapannya, mencoba mengais rezeki di suatu tempat pelelangan ikan.
Ini jelas terbayangkan ketika kita simak bait ketiga puisi ini:
kau berdiri menatap
tajam ke dalam surga itu
ya... di situ di
tempat pelelangan ikan itu
kau bergelut untuk
mendapat rezeki tuhan
Sulit memang menebak dengan pasti siapa yang dimaksud
penulis dengan “Anak Alang-Alang”.
Mungkinkah dia seorang anak jalanan, atau anak yang
ditelantarkan oleh orang tuanya? Sehingga dia sebatang kara menjalani hidup
untuk bertahan.
Yang jelas, sisi seorang bocah yang begitu lugu, penuh canda
dan ceria, selayaknya masa anak-anak sebayanya, masih didapati meski tidak
begitu sempurna. Ini tergambar dalam bait sebagai berikut:
bibirmu merekah,
manakala kau lihat ikan-ikan itu
menari dalam
cawan-cawan raksasa
kau selalu berteriak
dalam hatimu
"menarilah
ikan-ikan ku, meloncatlah yang tinggi
agar aku dapat
menjumputimu saat kau terkapar di lantai yang telah menangkapmu"
kau masih begitu
ingusan, namun kau begitu hebat
Ada semacam penyelaman imajinasi seorang anak yang tetap
ceria ketika dia tahu berada di suatu tempat untuk mencoba mengais rezeki dari
sisa-sisa yang ada. Begitu pemurahnya Allah yang tak pernah menyia-nyiakan
sebuah nyawa atas rezeki dalam hidupnya.
Secara umum jelas penulis mempunyai bakat yang luar biasa
untuk menuliskan sebuah rasa yang tersaksikan ke dalam bentuk puisi. Pemakaian
diksi-diksi cukup padat sehingga makna yang dimaksud mampu memancarkan
multitafsir dari pembacanya.
Apalagi bila penulis berani bermain-main dengan imajinasi
yang lebih luas, sehingga sungguh akan mampu menjadi sebuah puisi yang bernilai
sastra tinggi.
Untuk sebuah karya sastra yang baik, selayaknyalah kita
selalu mempedomani penggunaan EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) dengan baik juga. Apakah
pemakain huruf kapital, dan tanda-tanda baca yang lainnya. Bila Tuhan yang
dimaksud adalah Allah S.W.T, sepatutnya kita memakai huruf: "T" (kapital)
bukan "t".
Juga pemakaian tanda kutip (") pada judul sebaiknya
dihilangkan. Demikian juga tanda elipsis (...) biasanya dipakai untuk suatu
kata/kalimat yang dihilangan.
Namun demikian puisi ini sangat menarik. Semoga semakin
mantap untuk tulisan-tulisan selanjutnya.
Selamat berkarya.
Salam Aishiteru.
TIM FAM INDONESIA
[BERIKUT NASKAH ASLI
DARI PENULIS TANPA EDITING TIM FAM INDONESIA]
PUISI "ANAK ALANG-ALANG"
Oleh Nopiah
IDFAM155U Anggota FAM
Kendal.
Jejak langkah kakimu yang tak kenal lelah untuk melangkah
kau teramat setia, untuk menyusuri lorong-lorong gelap di
pagi itu
sampai hentak kakimu terhenti
dalam suatu tempat yang kau anggap itu surga
kau memang tak sendiri
kau bersama malaikat-malaikat kecil yang lain
yang siap bertempur dalam peraduan
kau berdiri menatap tajam ke dalam surga itu
ya...disitu di tempat pelelangan ikan itu
kau bergelut untuk mendapat rezeki tuhan
bibirmu merekah, manakala kau lihat ikan-ikan itu
menari dalam cawan-cawan raksasa
kau selalu berteriak dalam hatimu
"menarilah ikan-ikan ku, meloncatlah yang tinggi
agar aku dapat menjumputimu saat kau terkapar di lantai yang
telah menangkapmu"
kau masih begitu ingusan, namun kau begitu hebat
[sumber:
www.famindonesia.blogspot.com]
0 komentar:
Post a Comment