Depok, 25 Oktober
2012
Sepucuk surat
untuk FAM
di-
Tempat
Teruntuk FAM yang
saat ini sedang dalam “masa pertumbuhan dan perkembangan”nya, sambil menunggu
kuncup kelopaknya yang akan segera mekar karena pupuk semangat dari para
anggota. Di sini, aku ingin menulis sedikit cerita tentang bagaimana kutemukan
bibitmu di pekarangan mimpiku, sehingga muncul sebuah keinginan untuk bisa
memetik buah yang kelak kan bergelayut di cabang-cabangmu yang kokoh itu.
Teruntuk FAM yang
perlahan-lahan menaungi sejuta asaku di bawah dedaunanmu yang mulai merindang,
ingin kusampaikan tentang perasaanku yang tak dapat kubendung lagi. Mulai dari
ucapan terima kasih, perasaan bahagia, bangga, senang, dan bermacam ungkapan
lain yang tak bisa kulukiskan dengan kuas – yang masihlah sederhana – yang
kumiliki saat ini. Mulai dari cerita tentang luang sempitnya waktuku demi
mengukir sepatah dua patah, sebaris dua baris, sebait dua bait yang tak
bermakna cukup dalam bagiku, cerita tentang sukar mudahnya untuk bisa
menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar, sampai pujian manis dan kritik
pedas yang acapkali menghujat diriku yang masih rapuh ini.
Dahulu, sewaktu
usiaku masih terbilang cukup muda, dan bahkan masih di bawah batas kewajaran
bagi seorang anak untuk bisa mengendalikan pensil, lewat tayangan animasi yang
kusaksikan di layar kaca, aku suka sekali meniru gambar-gambar bergerak itu,
dan menggoreskannya di atas kertas lusuh yang masihlah tak ada harga dan
nilainya jika belum dituliskan apa-apa. Aku terus menggambar dan menggambar,
lalu membuat percakapan kecil di bawahnya. Ya, meskipun kebanyakan dari mereka
tak berwujud jelas, tetapi aku menikmatinya. Aku suka sekali membuat karya
seperti itu, yang sampai sekarang pun masih suka kulakukan. Entah, dari situlah
aku mulai tertarik pada dunia tulis menulis – kecuali menulis pelajaran yang
diberikan pada waktu Taman Kanak-kanak dan Madrasah Diniyah. Hihi. Apalagi,
saat itu bapak (sebutan ayah bagiku) memiliki mesin tik yang bila ditekan
tombolnya akan berbunyi, “Ctek!” dengan tongkat-tongkat besi kecil yang
mencetak sejumlah huruf di kertas yang ada di atasnya. Sejak saat itu pula, aku
semakin tertarik pada media tertulis.
Pada masa itu
juga, ummi (sebutan ibu bagiku) yang merupakan kepala sekolah Taman Kanak-kanak
di tempat kami, rajin sekali membeli buku-buku bacaan bergambar, dan sekali
lagi menarik perhatianku pada media tertulis. Memasuki Madrasah Ibtidaiyah, aku
sering meminta uang kepada bapak demi membeli satu atau dua buku untuk kubaca,
yang kebanyakan berisi pelajaran, sehingga jadilah aku seorang kutu buku. Tapi
aku tak pernah berhenti mengarang dan berimajinasi. Pernah, aku dan seorang ikhwan
bersepakat untuk membuat cerita di salah satu bukuku yang kosong – yang
karenanya seisi kelas mengejek kami karena sering bercengkrama di kelas. Wah...
padahal kami sedang saling bertukar ide cerita! Ckckck. Sampai Madrasah
Tsanawiyah pun, aku masih suka membuat cerita. Satu persatu cerita pendek
kusanggupi, demi menuangkan segala pikiran yang mengerubung di dalam benakku.
Sampai akhirnya, beredar sebuah majalah pelajar lokal, yang karenanya beberapa
teman mengusulkan agar aku ikut mengirim karya. Dan alhamdulillah, satu goresan
penaku berhasil dimuat dan dipublikasikan untuk yang pertama kalinya. Ini tentu
saja menyemangatiku, sampai karyaku yang selanjutnya kembali dimuat. Sayang,
seiring berhentinya peredaran majalah itu, aku pun mulai berhenti berkarya,
kecuali menggambar komik yang dinantikan pembaca setiaku (hanya empat orang,
hehe).
Teruntuk FAM,
yang tak pernah lelah menyebar kebaikan lewat motto dan visi-misinya yang indah
– dan jarang sekali kutemui di berbagai kelompok penerbit. Andai saja kau tidak
menyebarkan info tentang lomba cerpen itu di dunia maya, mungkin aku tak pernah
dan tak akan pernah bangkit dari keterpurukanku, karena tak ingin menggali
impian yang telah lama kukubur dalam-dalam. Impian, untuk bisa menjadi penulis
yang menyeru kebaikan lewat tulisannya yang bertutur lembut dan menyentuh.
Jujur, aku sangat bahagia di sini. Di bawah naungan payungmu yang begitu
menyejukkan lagi menghangatkan. Terik yang menyengat itu, kau halangi dari
tubuh kerdilku ini, agar hanya sinar-sinar hangat yang mampu menembus celah
sehingga memberi sedikit kehangatan untukku. Dan rintik basah itu, kau tampung
dan kau alirkan perlahan hingga sampai ke akar, agar terus bisa melindungiku
dari dinginnya suhu yang menggigit rusuk, serta dari ganasnya gemuruh guntur
kala menyambar ke pucuk-pucukmu yang tinggi itu. Kemudian, setelah masa-masa
yang paling menentukan itu, kau hadiahkan aku sebuah lengkungan berpuluh warna
dari balik tirai lebatmu. Menunjukkan, bahwa selama aku mau bersabar dan terus
gigih memperjuangkan diriku demi engkau, akan kau hadiahkan bingkisan
terindahmu padaku.
Ah, FAM. Masih
banyak lagi yang ingin kusampaikan padamu. Namun panjangnya untaian cerita yang
telah kutulis tadi, pastilah akan membuatmu dan juga anggota lain merasa bosan
karenanya. Aku hanya ingin berbagi tentang kisahku padamu, juga kepada
penulis-penulis lain yang berjuang di bawah panjimu. Aku ini… punya segudang
impian, yang tak satupun di antaranya didukung oleh anggota keluargaku. Bahkan,
ketika kuukir garis-garis itu di atas lembaran itu, mereka tak henti-hentinya
mengejekku. Mereka mengatakan kalau aku ini seperti orang tak waras, tak punya
kerjaan, dan hinaan lain yang membuatku berkali-kali mengucurkan air mata dan
mengeraskan kepalaku. Tragis memang. Tapi tunggu, FAM. Justru dari
kekeras-kapalaanku itulah, aku menjadi aku, yang seperti sekarang ini. Dari
cemoohan itulah, aku mampu berdiri sekokoh karang. Tak peduli ombak hujatan
yang menamparku berkali-kali, aku akan tetap di sana. Merajut secercah harapan
yang tak akan kubiarkan lagi pergi terbawa arus waktu dan kesempatan. Aku
sadar, bahwa begitulah mereka mendidikku. Agar aku menjadi anak yang kuat
ketika mendapat segala celaan di luar sana. Agar aku menjadi anak yang tak
kenal menyerah ketika bukit yang menjulang hingga kaki langit menghalangi
langkahku. Agar aku menjadi seperti sekarang ini. Terus berupaya sampai semua
hasil karyaku ini dihargai oleh khalayak.
FAM, tanpamu,
tanpa antologi itu, pastilah aku tak pernah merasakan pahit-manisnya bagaimana
menunggu dan merasakan ketika hasil tulisanku itu berhasil dimuat dan
diterbitkan bersama puluhan pejuang pena lain dalam skala nasional. FAM,
tanpamu dan para anggota yang tak henti-hentinya mengalirkan embun bernama
semangat itu padaku, mungkinlah aku tak akan lagi menggali impianku itu, dan
melemparkannya ke atas sana. Bersanding bersama miliaran bintang lain yang
kelak kan kuraih kerlipnya.
FAM, maafkan aku
yang tak bisa menahan jari ini untuk terus menari demi meluapkan segala
perasaanku. Maafkan aku juga yang saat ini hanya bisa setia padamu, dengan cara
mengibarkan benderamu di akun dunia mayaku. Maafkan aku juga, yang belum bisa
mempersembahkan sesuatu yang lebih berharga dari itu. Bagiku, FAM adalah
keluarga.
Salam cinta,
Rrahmania Zzahra
FAM1000S, Depok
0 komentar:
Post a Comment