Tim FAM Indonesia mengapresiasi puisi ini sebagai puisi yang memiliki kedalaman makna sehingga diperlukan analisa yang mendalam juga untuk bisa melakukan penafsiran. Puisi ini merupakan puisi kontemplatif dan filosofis. Melalui puisi ini, penulis mengajak pembacanya untuk merenung. Dengan analogi lilin, penulis ingin menyampaikan pesan bahwa tak ada yang abadi dalam kehidupan dunia ini. Semuanya serba fana. Sebagaimana halnya kehidupan, kematian juga adalah suatu kepastian. Akan ada masanya keindahan akan luntur dan memudar, kekuatan akan melemah, dan kehidupan akan berakhir.
Dari sisi penulisan dan pemilihan kata, Tim FAM Indonesia mengapresiasi kekayaan bahasa dari penulisnya. Ada kosakata yang tentunya masih asing untuk pembaca yaitu “kodanda”. Tetapi, karena kata ini (sepertinya) bukan diambil dari bahasa Indonesia, maka seharusnya dicetak miring dan di bawah puisi diberi keterangan arti dari kata tersebut. Kesalahan penulisan juga terjadi di beberapa bagian, antara lain:
Bait kedua baris kedua ada kata “teruai”. Mungkin yang dimaksud penulis adalah “terbuai” atau “terurai”.
Bait kedua baris terakhir ada kata “kegeersangan”, seharusnya “kegersangan”.
Bait ketiga baris keempat, kata “menjdi” seharus “menjadi”.
Bait ketiga baris kelima, kata “kubaw” seharusnya “kubawa”.
Selanjutnya, Tim FAM mendukung sepenuhnya agar penulis terus akif berkarya untuk menyampaikan pesan-pesan moral kehidupan melalui media tulisan.
Salam Santun, Salam Karya, Salam Pencerahan.
TIM FAM INDONESIA
www.famindonesia.com
[BERIKUT PUISI PENULIS YANG DIPOSTING TANPA EDITING TIM FAM INDONESIA]
Sekerat Lilin
Dwi Ciplux
Hanya akan bertahan
Menatap senja yang sepi berpadu
Membungkus gurat dalam kelopak wangi nan indah
Hingga mekar berpadu dengan bunga yang lain
Dan kan hilang warna indah
Saat basah terguyur hujan
Tersisa goret yang tak pudar
Demikian lapuk akarku untuk menancap
Teruai keharusan merindu kepada sang bayu
Siap membawa roboh
Terhempas hancur oleh kodanda
Menjadi serpih kegeersangan sang teman
Buruk hancur mati remuk
Terseret dalam gigitan yang terserpih
Mati sekarat dengan sekerat pilu
Menjdi melodi indah sesaat
Terbungkam diam dan kubaw mati
Hingga tak ada pilu bernyanyi untuk esok hari
Surabaya
September 2012
[www.famindonesia.com]
Dari sisi penulisan dan pemilihan kata, Tim FAM Indonesia mengapresiasi kekayaan bahasa dari penulisnya. Ada kosakata yang tentunya masih asing untuk pembaca yaitu “kodanda”. Tetapi, karena kata ini (sepertinya) bukan diambil dari bahasa Indonesia, maka seharusnya dicetak miring dan di bawah puisi diberi keterangan arti dari kata tersebut. Kesalahan penulisan juga terjadi di beberapa bagian, antara lain:
Bait kedua baris kedua ada kata “teruai”. Mungkin yang dimaksud penulis adalah “terbuai” atau “terurai”.
Bait kedua baris terakhir ada kata “kegeersangan”, seharusnya “kegersangan”.
Bait ketiga baris keempat, kata “menjdi” seharus “menjadi”.
Bait ketiga baris kelima, kata “kubaw” seharusnya “kubawa”.
Selanjutnya, Tim FAM mendukung sepenuhnya agar penulis terus akif berkarya untuk menyampaikan pesan-pesan moral kehidupan melalui media tulisan.
Salam Santun, Salam Karya, Salam Pencerahan.
TIM FAM INDONESIA
www.famindonesia.com
[BERIKUT PUISI PENULIS YANG DIPOSTING TANPA EDITING TIM FAM INDONESIA]
Sekerat Lilin
Dwi Ciplux
Hanya akan bertahan
Menatap senja yang sepi berpadu
Membungkus gurat dalam kelopak wangi nan indah
Hingga mekar berpadu dengan bunga yang lain
Dan kan hilang warna indah
Saat basah terguyur hujan
Tersisa goret yang tak pudar
Demikian lapuk akarku untuk menancap
Teruai keharusan merindu kepada sang bayu
Siap membawa roboh
Terhempas hancur oleh kodanda
Menjadi serpih kegeersangan sang teman
Buruk hancur mati remuk
Terseret dalam gigitan yang terserpih
Mati sekarat dengan sekerat pilu
Menjdi melodi indah sesaat
Terbungkam diam dan kubaw mati
Hingga tak ada pilu bernyanyi untuk esok hari
Surabaya
September 2012
[www.famindonesia.com]
0 komentar:
Post a Comment