Puisi berjudul "Hiasan Doa" ini berisi tentang sebuah renungan. Tokoh aku digambarkan sebagai sosok yang di masa lalunya penuh dengan dosa. Pertaubatan pun menjadi pilihan, agar bila kehidupan fana berakhir, kebahagiaanlah yang akan didapat.
Akan tetapi, dalam hal ini sosok aku merindukan hadirnya sebuah makna. Makna itu tak lain adalah sesuatu yang istimewa; air mata. Ini tergambar pada bait pertama dan kedua. Bagaimana tidak? Sebuah doa yang indah adalah ketika seseorang dapat menangisi apa-apa yang telah ia perbuat, dosa-dosa yang telah terjadi. Tidak ada air mata mana pun yang lebih berarti ketimbang untuk menyesali dosa. Lalu, dari manakah semua itu ada, jika "si penjaja air mata" tidaklah singgah?
Penulis menjadikan "penjaja air mata" ini sebagai metafora dari penyesalan yang paling dalam. Sesal karena berbuat kesalahan hingga akhirnya menjadikan air mata bak titik balik menuju cahaya. Atau mungkin "penjaja air mata" ini menjadi perlambang sebuah kesadaran tokoh "aku" itu sendiri, bahwa setumpuk dosa akan membawa derita tiada akhir?
Sosok aku terus berharap bahwa doanya dapat diterima meski dengan "kesederhanaan" yang ia bawa. Ya, sederhana yang ada itu menunjukkan bahwa manusia hanyalah sebutir debu, bahkan jauh lebih kecil lagi di mata Sang Pencipta.
Penulis cukup dalam memaknai setiap bait puisi yang ditorehkan. Untaian aksaranya seolah menggiring benak, mengingatkan kita bahwa segala sesuatu akan dipertanggungjawabkan nanti di hadapanNya. Lalu apakah kita telah siap dengan segala ketentuan yang akan dan pasti terjadi, sementara dosa-dosa itu bagai aliran sungai yang sulit dihentikan? Merenungi diri atas segala yang dilakukan untuk kemudian menyadari dan mau memperbaiki, adalah lebih baik. Daripada terus menerus menenggelamkan diri pada makna dunia yang sejatinya palsu, tak abadi.
Sedikit koreksi dari Tim FAM Indonesia. Huruf pada setiap awal baris baiknya menggunakan huruf kapital. Lalu pada bait pertama dan ketiga. "Keranjang keranjang", "puing puing", dan "dosa dosa" baiknya diberi tanda penghubung menjadi "keranjang-keranjang", "puing-puing", dan "dosa-dosa". Juga pada bait kedua. "Kemanakah" baiknya ditulis "ke manakah". Selebihnya tak ada kesalahan.
Tetap berkarya dan terus menebar makna bernilai pencerahan.
Salam santun, salam karya!
TIM FAM INDONESIA
www.famindonesia.com
[BERIKUT PUISI PENULIS YANG DIPOSTING TANPA EDITING TIM FAM INDONESIA]
Hiasan Doa
Oleh Budianto
pelupuk malam mengantarkan luruhan hati
pada keranjang keranjang tautan jemari
persis ketika matahari rebah
penjaja air mata* tak lagi singgah
kemanakah lagi kucari dirimu?
jika sampai ubun malam tak bertemu
lalu dengan apa kuhiasi puing puing doa
yang kupanggul di geligir pematang dosa dosa
sedang hantaran ini terlalu sederhana
sedang Dia begitu indahnya
menungguku selangkah dari lelap mata
persis ketika matahari rebah
di punggung bumi aku tengadah
mengundang penjaja air mata*
semoga dia tahu; aku tanpa kata
"datanglah sebelum ubun malam, doa ini butuh hiasan"
*penjaja air mata: frase yang menjadi judul cerpen Prasetiyohadi dalam Derabat: Cerpen Pilihan Kompas 1999
[www.famindonesia.com]
Akan tetapi, dalam hal ini sosok aku merindukan hadirnya sebuah makna. Makna itu tak lain adalah sesuatu yang istimewa; air mata. Ini tergambar pada bait pertama dan kedua. Bagaimana tidak? Sebuah doa yang indah adalah ketika seseorang dapat menangisi apa-apa yang telah ia perbuat, dosa-dosa yang telah terjadi. Tidak ada air mata mana pun yang lebih berarti ketimbang untuk menyesali dosa. Lalu, dari manakah semua itu ada, jika "si penjaja air mata" tidaklah singgah?
Penulis menjadikan "penjaja air mata" ini sebagai metafora dari penyesalan yang paling dalam. Sesal karena berbuat kesalahan hingga akhirnya menjadikan air mata bak titik balik menuju cahaya. Atau mungkin "penjaja air mata" ini menjadi perlambang sebuah kesadaran tokoh "aku" itu sendiri, bahwa setumpuk dosa akan membawa derita tiada akhir?
Sosok aku terus berharap bahwa doanya dapat diterima meski dengan "kesederhanaan" yang ia bawa. Ya, sederhana yang ada itu menunjukkan bahwa manusia hanyalah sebutir debu, bahkan jauh lebih kecil lagi di mata Sang Pencipta.
Penulis cukup dalam memaknai setiap bait puisi yang ditorehkan. Untaian aksaranya seolah menggiring benak, mengingatkan kita bahwa segala sesuatu akan dipertanggungjawabkan nanti di hadapanNya. Lalu apakah kita telah siap dengan segala ketentuan yang akan dan pasti terjadi, sementara dosa-dosa itu bagai aliran sungai yang sulit dihentikan? Merenungi diri atas segala yang dilakukan untuk kemudian menyadari dan mau memperbaiki, adalah lebih baik. Daripada terus menerus menenggelamkan diri pada makna dunia yang sejatinya palsu, tak abadi.
Sedikit koreksi dari Tim FAM Indonesia. Huruf pada setiap awal baris baiknya menggunakan huruf kapital. Lalu pada bait pertama dan ketiga. "Keranjang keranjang", "puing puing", dan "dosa dosa" baiknya diberi tanda penghubung menjadi "keranjang-keranjang", "puing-puing", dan "dosa-dosa". Juga pada bait kedua. "Kemanakah" baiknya ditulis "ke manakah". Selebihnya tak ada kesalahan.
Tetap berkarya dan terus menebar makna bernilai pencerahan.
Salam santun, salam karya!
TIM FAM INDONESIA
www.famindonesia.com
[BERIKUT PUISI PENULIS YANG DIPOSTING TANPA EDITING TIM FAM INDONESIA]
Hiasan Doa
Oleh Budianto
pelupuk malam mengantarkan luruhan hati
pada keranjang keranjang tautan jemari
persis ketika matahari rebah
penjaja air mata* tak lagi singgah
kemanakah lagi kucari dirimu?
jika sampai ubun malam tak bertemu
lalu dengan apa kuhiasi puing puing doa
yang kupanggul di geligir pematang dosa dosa
sedang hantaran ini terlalu sederhana
sedang Dia begitu indahnya
menungguku selangkah dari lelap mata
persis ketika matahari rebah
di punggung bumi aku tengadah
mengundang penjaja air mata*
semoga dia tahu; aku tanpa kata
"datanglah sebelum ubun malam, doa ini butuh hiasan"
*penjaja air mata: frase yang menjadi judul cerpen Prasetiyohadi dalam Derabat: Cerpen Pilihan Kompas 1999
[www.famindonesia.com]
0 komentar:
Post a Comment