Puisi ini janggal, sulit dipahami, dan buram. Tidak ada makna pasti yang ada di dalamnya alias berbelok-belok. Perhatikan baris pertama yang berbunyi: "Maaf tuhan aku bukan tuhanmu". Apa maksud baris tersebut? Kemudian pada baris berikutnya berbunyi: "Maaf tuhan aku akan membelimu dengan harga dirimu". Sampai di sini sudah terasa janggal—arah/tujuan dari pesan yang ingin disampaikan oleh penulis mulai tak tentu. Ibarat kata, "jika yang dibeli adalah tuhan", mengapa pada baris berikutnya berbunyi: "Maaf tuhan aku bukan barang semata yang kamu beli dengan uangmu". Jadi siapakah tuhan dalam puisi ini? Lalu siapa pula yang "dibeli"?
Kontradiksi antar baris juga terjadi pada baris-baris berikutnya, seperti baris kelima dan keenam. Jika "tuhan rindu dengan otakku", mengapa "aku harus menanyakan keberadaan harga diri di mata tuhan"? Bukankah yang merindu lebih butuh bertanya ketimbang yang dirindu? Kemudian lebih tak tentu lagi, pada baris kesembilan beralih yang menjadi pertanyaan tentang "ukuran harga diri tuhan". Jadi apa tujuan puisi ini? Mengapa tidak jelas dan berkaitan antara baris yang satu dengan baris lainnya?
Tim FAM menilai puisi ini hanya sekadar permainan kata-kata yang diolah sedemikian rupa tanpa menyelipkan pesan secara utuh yang konsisten/tidak berubah-ubah. Dengan kata lain, puisi ini tak terarah dan tanpa tujuan. Puisi ini tidak bisa dinikmati karena selain banyak bagian mengandung kontradiksi, makna yang ada di baliknya pun tak jelas, sehingga seolah "tuhan" menjadi sesuatu yang tidak seperti yang kita ketahui.
Walau demikian, penulis sudah berusaha menghasilkan karyanya, terlepas dari segala kekurangan. Saran Tim FAM untuk penulis, agar kembali berlatih dan berlatih. Jangan terpancing permainan diksi, tetapi olah juga jembatan antarbait dan baris hingga terbentuk satu bangunan utuh sebuah puisi yang—meski samar sekalipun—setidaknya punya tujuan yang jelas. Bermain-main diksi itu bagus, bahkan sangat dianjurkan. Namun bermain-main diksi tanpa tujuan hanya akan membunuh makna yang hendak kita sampaikan.
Salam santun, salam karya!
TIM FAM INDONESIA
www.famindonesia.com
[BERIKUT PUISI PENULIS YANG DIPOSTING TANPA EDITING TIM FAM INDONESIA]
Harga diri tuhan
Muhammad Yusuf Dzaky Maulana IDFAM1972S
Maaf tuhan aku bukan tuhanmu
Maaf tuhan aku akan membelimu dengan harga dirimu.
Maaf tuhan aku bukan barang semata yang kamu beli dengan uangmu.
Maaf tuhan hanya barang barang ini saja dapat aku beli dengan kepala tanganmu.
Masih rindukah kau dengan otakku tuhan.
Masih adakah harga diriku di matamu tuhan?
Masih adakah kau yang dulu ketika kau menimangku dalam pangkuanmu?
Jawabanya hanya dayang-dayang surgamu yang tahu.
Segitukah harga dirimu tuhan?
Yang hanya bisa menimangku disaat aku kecil saja?
Hanya segitukah kamu tuhan berkata sedemikian ke aku?
Kamu bukaan tuhanku !
Sumber ilustrasi: ruangpijar.wordpress.com
Kontradiksi antar baris juga terjadi pada baris-baris berikutnya, seperti baris kelima dan keenam. Jika "tuhan rindu dengan otakku", mengapa "aku harus menanyakan keberadaan harga diri di mata tuhan"? Bukankah yang merindu lebih butuh bertanya ketimbang yang dirindu? Kemudian lebih tak tentu lagi, pada baris kesembilan beralih yang menjadi pertanyaan tentang "ukuran harga diri tuhan". Jadi apa tujuan puisi ini? Mengapa tidak jelas dan berkaitan antara baris yang satu dengan baris lainnya?
Tim FAM menilai puisi ini hanya sekadar permainan kata-kata yang diolah sedemikian rupa tanpa menyelipkan pesan secara utuh yang konsisten/tidak berubah-ubah. Dengan kata lain, puisi ini tak terarah dan tanpa tujuan. Puisi ini tidak bisa dinikmati karena selain banyak bagian mengandung kontradiksi, makna yang ada di baliknya pun tak jelas, sehingga seolah "tuhan" menjadi sesuatu yang tidak seperti yang kita ketahui.
Walau demikian, penulis sudah berusaha menghasilkan karyanya, terlepas dari segala kekurangan. Saran Tim FAM untuk penulis, agar kembali berlatih dan berlatih. Jangan terpancing permainan diksi, tetapi olah juga jembatan antarbait dan baris hingga terbentuk satu bangunan utuh sebuah puisi yang—meski samar sekalipun—setidaknya punya tujuan yang jelas. Bermain-main diksi itu bagus, bahkan sangat dianjurkan. Namun bermain-main diksi tanpa tujuan hanya akan membunuh makna yang hendak kita sampaikan.
Salam santun, salam karya!
TIM FAM INDONESIA
www.famindonesia.com
[BERIKUT PUISI PENULIS YANG DIPOSTING TANPA EDITING TIM FAM INDONESIA]
Harga diri tuhan
Muhammad Yusuf Dzaky Maulana IDFAM1972S
Maaf tuhan aku bukan tuhanmu
Maaf tuhan aku akan membelimu dengan harga dirimu.
Maaf tuhan aku bukan barang semata yang kamu beli dengan uangmu.
Maaf tuhan hanya barang barang ini saja dapat aku beli dengan kepala tanganmu.
Masih rindukah kau dengan otakku tuhan.
Masih adakah harga diriku di matamu tuhan?
Masih adakah kau yang dulu ketika kau menimangku dalam pangkuanmu?
Jawabanya hanya dayang-dayang surgamu yang tahu.
Segitukah harga dirimu tuhan?
Yang hanya bisa menimangku disaat aku kecil saja?
Hanya segitukah kamu tuhan berkata sedemikian ke aku?
Kamu bukaan tuhanku !
Sumber ilustrasi: ruangpijar.wordpress.com
0 komentar:
Post a Comment