![]() |
Harian Singgalang, Minggu 26 Juli 2015 |
Penerbit: FAM Publishing
Penulis: 42 Penulis Indonesia
Kategori: Kumpulan Puisi
ISBN: 978-602-7956-87-2
Terbit: Januari 2015
Tebal: 166 hlm ; 14 x 20 cm
Setiap orang mempunyai cara sendiri untuk mengagungkan bulan suci umat Islam; Ramadhan. Termasuk yang dilakukan 42 penyair di buku ini, mereka memiliki cara dengan berdakwah lewat syair-syair yang indah. Dakwah bil qalam; berdakwah melalui tulisan. Puisi-puisi yang ditulis 42 penyair ini khusus mengambil tema Ramadhan. Ada banyak hal dari keunikan Ramadhan yang bisa diceritakan. Sejak Ramadhan belum datang, hingga berakhirnya, seperti tak ada habisnya untuk dikupas. Berangkat dari pengalaman masing-masing, mereka terinspirasi dan bercerita lewat sentuhan indah syair-syairnya.
Masroki, membuka puisinya dengan sebentuk kerinduan akan hadirnya bulan mulia itu. Hal ini terbaca jelas dari salah satu puisinya yang berjudul, “Aku Merinduimu, Ramadhan!”
O, Ramadhan, aku merinduimu
dari balik jendela
dari kamar yang sebentar lagi tertimbun dilema
menulismu tak mungkin seindah hadirmu O, Ramadhan
kini aku tertimbun dilema
bangunkan aku dengan wujudul hilalmu O, Ramadhan
Dari sepenggal puisi di atas, terbaca jelas, jauh sebelum Ramadhan itu tiba, ada sebongkah hati hamba yang amat merindukan kehadirannya. Menantikan munculnya hilal--yang menjadi pertanda awal bulan suci itu—segera mewujud. Hati yang merindu, pada kerinduan yang tepat. Sejatinya, perasaan senang saja menyambut bulan Ramadhan, sudah mendapat pahala keutamaan yang tidak ternilai harganya. Seperti dalam sebuah hadits; “Barangsiapa yang bergembira dengan kedatangan bulan Ramadhan niscaya Allah mengharamkan jasadnya dari neraka”
Puisi Ardy Nugraha mengungkapkan rasa riangnya beribadah di bulan Ramadhan. Bisa kita baca pada penggalan puisinya yang berjudul, “Ramadhan, Tidak Kutemukan di Bulan Lainnya Saatnya Untuk Berubah Sekarang Waktunya”;
Beda Ramadhan
Aku tidak seperti biasanya
Aku lebih rajin
salat lima waktu
tadarus, berzikir
dulu aku acuh dengan semua itu
Puisi di atas menyiratkan suara hati penyair yang mengalami peningkatan ketaqwaan di bulan Ramadhan; lebih rajin salat, tadarus dan zikir. Jauh-jauh hari Alquran sudah menyampaikan hal ini, seperti dalam QS. Al Baqarah 183; “Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang yang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”. Menahan haus, lapar dan amarah merupakan jalan menuju sifat-sifat sabar yang taqwa. Itulah mengapa berpuasa sebulan penuh pada Ramadhan dapat membimbing umat Islam mencapai ketakwaan.
Malam Lailatul Qadar, merupakan malam kemuliaan dan lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu, setiap muslim berharap bisa melipatgandakan amal ibadah dan mendapat ampunan dari Sang Pencipta. Malam yang amat dinantikan. Andris Wuryani, melukis tarian syairnya yang menikmati malam Lailatul Qadar itu. Seperti penggalan puisinya;
Lail yang melebihi kemuliaan seribu bulan
datang menghampiri dalam pada malam ganjil Ramadhan
ampunan Sang Kuasa berkobar di mana-mana
tadarus dari malam sampai pagi tiada henti
Selain mengisi waktu dengan kegiatan ibadah, ngabuburit menjadi fenomena tersendiri yang menyenangkan. Menunggu waktu berbuka, memang sebuah kebahagiaan. Pada bulan ini, suara azan maghrib sangat dinanti. Shoma Noor Fadillah mengungkapkan fenomena ini melalui puisinya;
Pamit sama baba mama
mau buka bersama
tadarus game nyanyi
yang jahil boleh kasih teka-teki
yang gajawab harus hafalin surah lagi
begitu terus sampai sore pergi
Berkat ngabuburit yang positif, pikiran mereka tidak terfokus pada rasa lapar, justru waktu berbuka seperti datang begitu cepat. Puisi yang sederhana, namun begitu mengena.
Suharto, menutup bulan Ramadhan melalui puisinya yang berjudul, “Selamat Datang Idul Fitri”. Berikut penggalan puisinya;
senyuman yang datang dari lubuk hati yang dalam
saya, kamu, dan mereka semua pasti senang
kami silaturrahim ke rumah tetangga
mengucapkan salam, minta maaf dengan hati yang tulus
Pada hari raya Idul Fitri, sudah menjadi tradisi di negeri ini menjadi momen yang baik untuk berkumpul bersama keluarga, bersilaturrahim, saling bermaafan dan saling mengantar makanan. Suasana keakraban ini, tidak ditemukan pada hari-hari lainnya. Wajar kiranya untuk bergembira dan merayakan hari kemenangan dengan penuh kesyukuran.
Demikianlah bahasa para penyair menyikapi bulan yang agung ini. Selain melalui lisan, mereka menuangkan kebahagian, kerinduan, kecintaan dan rasa syukur melalui tulisan. Sesederhana apa pun cara menuangkannya, puisi yang ditulis 42 penyair di buku ini tidak sekadar menampilkan estetika, tetapi sekaligus mengandung pesan-pesan moral (etika). Ketika estetika berpadu etika, manfaatnya akan lebih terasa oleh pembaca.
*) Aliya Nurlela, Novelis dan Pegiat Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia
Diterbitkan Harian Singgalang edisi Minggu, 26 Juli 2015, halaman Resensi Buku
Ingin menerbitkan buku di FAM Publishing? Hubungi call centre FAM di 0812-5982-1511 atau email: aktifmenulis@gmail.com.
0 komentar:
Post a Comment