Oleh
Syukur Budiardjo
Penyair
layaknya menulis puisi berdasarkan pengalaman yang mengkristal. Bisa jadi
pengalaman ini menjadi lahan yang tak pernah kering. Selain itu, pengalaman
yang mengkristal tersebut akan menjadi bahan tulisan yang sangat menarik.
Jasmani
dan rohani penyair yang berolah pikir dan berolah rasa secara intensif dalam
mengolah pengalaman tentu dapat menghasilkan karya tulis kreatif puisi yang
bukan “puisi instan”. Proses penciptaannyalah yang membuat puisi ini akan
terperosok sekadar menjadi “puisi instan” atau bukan.
Analogi dari “puisi instan” adalah “makanan
instan”, misalnya mie instan.
Dengan
cukup memasak air dua-tiga gelas, menyiapkan telor ayam atau bebek, merobek
bungkus mie instan, memisahkan bumbu dan cabenya, lalu tunggu sebentar! Air
yang mendidih dalam beberapa menit kita tuangi telor! Bumbu dan cabe kita
tuangkan ke dalam mangkok atau piring. Mie dan telur yang sudah matang kita
tuangkan ke dalam piring! Kita aduk-aduk hingga merata dengan sendok atau
garpu! Jadilah mie goreng atau rebus siap saji!
Kita tak
perlu membuat bumbu. Kita juga tak perlu menggerus atau menguleg cabe. Kita tak
perlu membuat mie. Kita tak perlu membuat telor. Semua bahan sudah ada. Hingga
akhirnya dengan waktu yang cepat kita dapat membuat mie goreng atau mie rebus
sesuai dengan selera kita. Tak memerlukan waktu yang lama. Selain itu, enak
memang di lidah.
Akan
tetapi, jika ini dibiasakan dan menjadi ketagihan, sedikit demi sedikit kita
telah menabung penyakit. Karena kita tak ingin bersusah payah dengan mengikuti
proses yang alamiah dan ilmiah, kita menjadi pemalas hingga kita rentan
dirundung berbagai jenis penyakit. Ini tentu tidak memberikan manfaat untuk
jangka panjang.
Demikian
pula halnya jika kita menulis puisi secara instan. Kita mengabaikan
pengendapan. Dampaknya kita tak akan menghasilkan puisi yang terstandar, baik
dari unsur intrinsiknya maupun ekstrinsiknya. Padahal, kita memiliki niat ingin
menulis puisi yang selalu dibaca, dinikmati, dan dikenang sepanjang waktu oleh
siapa pun yang menaruh perhatian terhadap dunia literasi terutama karya sastra.
Proses
pengendapan layaknya berhubungan dengan tahapan menyunting.Berkaitan
dengan tahapan menyunting ini, Rose (2002: 134) mengatakan bahwa rahasia
menulis super adalah menulis secara cepat dan fasih untuk menyelesaikan draf
cepat pertama. Setelah itu, kita boleh mengoreksi dan menyunting tulisan
setelah melalui masa inkubasi atau pengendapan. Sedangkan menurut Golberg
(2005: 59), ketika berlatih menulis, kita perlu memisahkan si pencipta dengan
si editor atau sensor batin, sehingga si pencipta memiliki ruang yang bebas
untuk bernafas, menjelajah, dan berekspresi.
Jika
kita mempelajari proses kreatif para penyair pendahulu, kita akan menemukan
proses panjang lahirnya puisi yang monumental. Puisi “Rakyat” yang sangat
terkenal itu, misalnya, yang ditulis oleh penyair Hartojo Andangdjaja, tidak
lahir serta-merta dan tanpa melalui proses penciptaan yang panjang dan
mendebarkan. Waktu penyelesaian penciptaannya tak hanya sehari, apalagi sejam.
Waktu
untuk menyelesaikan penulisan puisi “Rakyat” ternyata juga tidak hanya sebulan,
tetapi berbulan-bulan. Bahkan lebih dari setahun jika dihitung sejak ide
menulis puisi tersebut menguasai pikiran penyairnya pada bulan-bulan terakhir
tahun 1959 hingga penyelesaian penulisan puisi dan pemberian judulnya pada
Februari 1961. Ini setelah penyairnya mengalami berbagai peristiwa yang
melibatkan jiwa dan raganya. Sebuah kreativitas yang dirajut dengan konsistensi
dan komitmen yang tiada terkira. Pengakuan Hartojo Andangdjaja ini dapat kita
baca melalui buku Dari Sunyi
ke Bunyi: Kumpulan Esai tentang Puisi (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti,
1991, halaman
139-148).
Ini lain
lagi dengan pengakuan penyair Abdul Hadi W.M. Dalam buku Proses Kreatif: Mengapa dan
Bagaimana Saya Mengarang II (Editor
Pamusuk Eneste, Jakarta: Gramedia, 1984, halaman 192), penyair yang terkenal
dengan puisi “Madura” ini mengatakan demikian: “Mengenai proses kreatif
sajak-sajak saya, liku-likunya banyak. Ada sajak yang saya tulis dua sampai
tiga kali, lantas jadi. Ada yang mengalami proses penulisan sepuluh, dua puluh,
tiga puluh kali, dan seterusnya. Sebuah kenangan ada yang baru saya tulis jadi
sajak beberapa tahun kemudian. Ada sajak yang saya tulis di hotel, dalam
perjalanan, di pesawat terbang, di rumah teman, dan di mana saja – asal momen
kreatif sedang merebut diri saya”.
Penyair
Amerika, Amy Lawrence Lowell, yang pernah memperoleh penghargaanPulitzer
Prize for Poetry mengatakan
bahwa sajak-sajak yang panjang mungkin memerlukan waktu berbulan-bulan dalam
persiapan bawah sadar. Dalam hal sajak-sajak yang pendek masa persiapan bawah
sadar mungkin memerlukan waktu sehari atau beberapa saat saja, atau setiap
jangka waktu di antara keduanya itu (“Proses Pembikinan Puisi” dalam Proses Kreatif, editor Profesor
Brewster Ghiselin, terjemahan Wasid Soewarto, Jakarta: Gunung Jati, halaman
236).
Sebagai
bahan pembelajaran, layaknya kita dapat mengambil atau memetik pengalaman tiga
penyair tersebut dalam menulis puisi. Menulis puisi yang bagus itu tidak
semudah membalik telapak tangan. Agar puisi yang kita tulis tidak terperosok
menjadi “puisi instan” – yang terasa nikmat sesaat dan setelah itu kita lupakan
– sebaiknya kita melakukan proses pengendapan dalam menulis puisi.
_________________
*)
Syukur Budiardjo, Guru Bahasa Indonesia SMP Negeri 119 Jakarta Pusat. Menulis
artikel, puisi, dan cerpen di media massa massa cetak dan media sosial. Tinggal
di Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
0 komentar:
Post a Comment